Versus Deum (bagian pertama)


Versus Deum
(bagian pertama)
Dua minggu terakhir ini, akun FB-ku diserbu sudah lebih dari 100 orang untuk di-add, dan sebagian besar orang muda. Hampir semuanya adalah teman-teman dari almarhum Robby Sitohang, pemilik blog Indonesian Papist. Alasannya bisa saja karena FB adalah jaringan sosial, jadi teman mengundang teman, teman dari teman menjadi teman, dan seterusnya. Tetapi di balik alasan ini – FB sebagai jaringan sosial – ada juga alasan “orang berteman karena mempunyai satu kepentingan atau interest.” Beberapa dari mereka termasuk almarhum Robby secara eksplisit menyatakan keinginan untuk berteman, karena mereka melihat ada foto seorang imam yang sedang mempersembahkan Kurban Misa dalam Forma Extraordinaria (Misa FE) di cover FB saya. Misa FE, yang juga sering disebut Misa Tredentin, Misa Traditional, atau Misa Latin, semua istilah ini kurang tepat, yang merupakan kepentingan bersama itu.
Lewat tulisan ini, saya ingin merenungkan apa yang mendasari keinginan, kerinduan, atau lebih tepatnya kecintaan mereka akan Misa FE. Sering dikatakan bahwa Misa FE itu menarik karena khusyuk. Penggunaan Latin menambah suasana misteri. Imam dengan busana yang indah dan sikap badan yang hormat dan teratur membuat Misa FE agung. Penghormatan kepada Tubuh Kristus begitu besar dengan komuni di lidah sambil berlutut. Bagi perempuan, dengan memakai kerudung, mereka menyatakan kerendahan hati di hadapan Tuhan. Namun di balik alasan-alasan ini ada alasan yang lebih mendalam yang sering tidak dikatakan. Alasan yang mendalam ini terangkum dalam kata versus Deum, yang saya jadikan judul dari permenungan ini.
Versus Deum tidak hanya menyatakan apa yang terjadi selama Misa FE, tetapi juga menyatakan pergulatan hidup dari yang mencintai Misa FE. Dalam Misa FE, baik imam maupun umat menghadap satu arah yaitu menghadap Tuhan yang ada di Salib, Tabernakel, dan Tubuh dan Darah Kristus. (Salah jika dikatakan imam membelakangi umat.) Jadi yang menjadi fokus adalah Tuhan, bukan imam, bukan umat. Itulah sebabnya Misa FE ini sering juga disebut Misa Versus Deum.
Dalam kehidupan sehari-hari, mereka yang mencintai Misa FE sungguhnya pada awalnya mau membuat hidup mereka semakin terarah kepada Tuhan. Dan inilah salah satu alasan mengapa mereka merindukan Misa FE. Mungkin ada peristiwa dalam hidup yang membawa mereka memikirkan ajaran Gereja secara serius. Demikian juga, bahkan terutama dalam hal berliturgi. Mereka mengerti axiom ini: lex orandi, lex credendi, lex vivendi. Mereka adalah rata-rata orang berpendidikan tinggi. Jadi mereka memperdalam iman mereka dengan membaca buku, browsing laman internet. Mereka pun dengan usaha sendiri mencari dan ikut retret dan pembinaan iman yang ditawarkan para imam dan awam yang sejalan dengan aspirasi mereka. Dalam usaha memperdalam iman dan usaha menghidupi ajaran Gereja, mereka berjumpa dengan Misa FE.
Tidak mengherankan bahwa cara hidup dari mereka yang mencintai Misa FE (awam maupun imam) lebih selaras dengan ajaran Gereja, terlebih dalam ajaran moral dan sakramentalnya. Mereka bahkan menjadi pembela ajaran Gereja atau “apologist.” Tentunya mereka bukan orang-orang sempurna. Sekali lagi, pertama-tama, bukan diri mereka yang menjadi fokus, tetapi Tuhan. Mereka mendahulukan Tuhan. Pengampunan Tuhan lebih penting dari pada dosa-dosa mereka. Itulah sebabnya mereka lebih sering berbicara tentang Sakramen Pengampunan atau Tobat dan menerimanya. Belas kasih Tuhan-lah yang mengubah mereka, memampukan mereka melawan segala cobaan setan. Doa-doa Gereja, seperti Ibadat Harian, Rosario, Jalan Salib, menjadi kesukaan mereka. Dan ada yang menginginkannya dalam Latin. Ini mereka lakukan supaya Tradisi Katolik yang mengajarkan hidup versus Deum sungguh mereka hidupi. Mereka tidak tertarik dengan meditasi, persekutuan rohani dari agama dan gereja lain. Mereka bangga dengan Tradisi Katolik. Mereka tahu inilah jalan versus Deum.
Semoga kerinduan mereka akan Misa FE dapat terpenuhi dengan adanya imam-imam yang juga mau menghidupi hidup versus Deum, sudi mempersembahkan Kurban Misa dalam Forma Ekstraordinaria. Semoga.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.